Lingkaran Setan itu Bernama “Tanpa Kewarganegaraan”

Standard

keluarga-cina-benteng.jpgMereka mengalami diskriminasi atas agama, ras, kemiskinan, dan jender.

“Mak, masih lapar…” rengekan Mely dibalas sumpalan nasi di mulutnya. Eneng, ibunda Mely, menjumput nasi terakhir yang ada di mangkuk. Itulah makanan bocah berumur tiga tahun ini sehari-hari. Nasi bumbu kecap. “Abis. Minum aer aja yang banyak, yak?” timpalnya.

Mely meraih botol air minum. Warnanya keruh kekuningan. “Lagi panas begini aer mah susah. Kali kering….” sambung Eneng lagi dengan logat Sunda kental.

Kali memang terlihat kering. Kotor dan penuh sampah. Bau tak sedap sesekali menyergap hidung. Di pinggir kali rumah petak berjejer. Lebih tepat disebut ruang bersekat daripada rumah. Terbuat dari bilik bambu, papan, dan seng seadanya.

Mely menyerahkan botol air kembali ke ibunya. Lalu lari bergabung dengan anak-anak lain, bermain tanah tanpa alas kaki.

Begitulah sekelumit kehidupan Eneng dan anaknya. Sebagai seorang pemulung sampah, sudah sebelas tahun ia tinggal di pinggir Kali Perancis, Tangerang. Mandi, cuci, kakus dilakukan di kali selebar enam meter itu. Sampah di bantaran kali men­jadi sumber penghidupannya.

Wanita bermata sipit itu lalu menceritakan keresahan hatinya. Ia bersama puluh­an penduduk lainnya terancam digusur. “Ya emang sih, kita tinggal di sini mah numpang, tapi bagaimana ya? Mau pindah ke mana?” katanya lirih.

Di antara puluhan penduduk di bantaran Kali Perancis, terdapat delapan keluar­ga etnis Tionghoa yang menyebut dirinya Cina Benteng. Mata pencaharian utama mereka mencari sampah di kali dan perumahan sekitar dengan penghasilan ­­Rp. 7.000,- per hari. Anak-anak tumbuh tanpa pendidikan. Jangankan untuk sekolah, makan saja kadang tidak tiga kali sehari.

Menyandang status tanpa dokumen kewarganegaraan membuat hidup mereka bertambah runyam. Selalu hidup dalam rasa was-was. Takut ada pemeriksaan, tidak bisa sekolah, tidak bisa cari pekerjaan yang lebih baik, dan pasrah terhadap ancaman. Termasuk ketika rumah petak mereka dirubuhkan buldoser awal tahun ini. Kini mereka hidup penuh ketidakpastian.

Maunya sih nyari kerjaan yang mendinganlah. Tapi susah juga kagak punya KTP…” papar Eneng lagi. “Noh, kayak Kessy!” Eneng menunjuk tetangganya etnis Sunda yang punya KTP. Kessy bekerja sebagai buruh pabrik. “Dapetnya lumayan, Rp.400.000,- sebulannya. Kalau lembur dapet lagi.”

Kemalangan yang menimpa penduduk stateless ekonomi lemah memang mengenaskan. Mereka mengalami apa yang disebut Rebeka Harsono sebagai multilayered discrimation atau diskriminasi berlapis. “Warga Cina Benteng ­mengalami diskriminasi atas agama, ras, kemiskinan, dan jender,” paparnya. Jadi tidak hanya mengalami satu jenis diskriminasi saja, tapi berjenis-jenis secara sekaligus.

Diskriminasi berlapis ini membuat mereka jatuh dalam lingkaran setan. “Mereka termarjinalisasi oleh pembangun­an, modernisasi, dan kapitalisme,” papar Direktur Eksekutif Lembaga Anti Diskriminasi Indonesia (LADI) ini.

Masalah tanpa status kewarga­negaraan sama sekali bukan hal sepele. Dalam kewarganegaraan terkandung sejumlah hak dan akses yang bisa dimiliki seorang manusia.

Pertama adalah hak sosial dan ekonomi. Tanpa dokumen kependudukan seseorang tidak bisa sekolah, melamar kerja, menabung, atau meminjam ke bank. Pernikahan pun tidak diakui hukum. Akibatnya kebiasaan kawin cerai tinggi dan wanita serta anak-anak rawan menjadi korban.

Kedua, hilangnya hak sipil. Tanpa status kewarganegaraan seseorang tidak bisa menjadi bagian dalam ja­ringan pengaman sosial yang disediakan peme­rintah bagi keluarga miskin. Akses bantuan modal usaha atau kompensasi pengurangan subsidi BBM pun raib. Bahkan ketika ada perusahaan atau LSM yang membagikan sembako pun mere­ka sering tidak kebagian karena tidak punya KTP.

Ketiga, hilangnya hak-hak berpolitik secara normal. Sudah pasti para stateless sama sekali tidak memiliki hak politik seperti warga lainnya. Salah satu bentuk nyata adalah hi­langnya hak pilih dalam momentum politik, baik lokal maupun nasional. Selama puluhan tahun, stateless sama sekali tidak punya hak ikut pemilu legislatif. Mereka juga tidak berkesempatan mengikuti momentum politik pemilihan presiden.

Selain ketiga hal itu, penduduk tanpa kewarganegaraan merasakan kehidupan penuh bayang-bayang ketakutan. Sebagian dari mereka jarang berani keluar rumah karena takut terkena razia atau operasi kependudukan. Akibatnya mereka jadi apatis dan malas mengurus dokumen kependudukan. Selain biaya tak terjangkau dan jalur berbelit, risiko untuk diketahui “tidak punya KTP” terlalu mahal akibatnya.

Hilangnya hak-hak ini membuat mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh generasi pertama, tapi berlanjut ke anak-cucu mereka.

Anak-anak menjadi lost generation yang hidup tanpa pendidikan di lingkungan yang buruk. Gizi rendah menjadikan mereka bodoh dan tidak punya daya saing. Pengetahuan kurang menjebak anak-anak muda dalam pernikahan dini, yang menghasilkan lagi banyak anak tanpa kejelasan masa depan. Tradisi kawin-cerai tanpa dokumen sah berujung pada perendahan martabat perempuan. Dampak psikologis ini melemahkan mentalitas untuk maju. Hal ini berlangsung terus dari generasi ke generasi. Akibatnya mereka terjebak dalam kehidupan yang membuat mereka makin terpuruk dan selalu tertinggal.

Pekerjaan yang tersedia bagi mereka terbatas pada pekerjaan kasar. Uang yang dikumpulkan tidak bisa disimpan di bank. Mereka juga terjebak dalam rantai kredit bunga tinggi dan kebiasaan berjudi. Akibatnya tidak bisa mengumpulkan harta atau menginvestasikannya. “Jadi penduduk miskin bukan berarti biaya rendah. Justru biaya ekonomi tinggi. Karena sistem kredit, mereka membayar makin mahal,” jelas Rebeka.

Rendahnya pengetahuan juga membuat sebagian di antara mere­ka cuek untuk mengurus dokumen kewarganegaraan. Kendati sudah ada organisasi yang mau membantu, tidak lantas mudah membujuk penduduk stateless untuk berjuang memperoleh status kewarganegaraannya.

“Banyak yang tidak mengerti bahwa dalam dokumen kewarga­negaraan terkandung hak sebagai warga negara. Sekalipun mengerti, mereka bilang buat apa? Pa­ling ikut pemilu, lalu buat apa?” papar Rebeka lagi.

Inilah yang banyak dirasakan penduduk miskin di negara berkembang se­perti Indonesia. Karena dampak program jaringan pengaman sosial belum maksimal, manfaat dokumen kependudukan tidak dirasa penting.

Dalam pandangan mereka, punya status kewarganegaraan toh tak akan merubah kehidupan. Sekolah tetap mahal, pekerjaan pun masih sulit didapat. Ditambah prosedur njlimet dalam mengurus administrasi kependudukan, masyarakat stateless miskin berputar-putar dalam keterbelakangan.

(Lisa Suroso/SUARA BARU)

Photo: Eric Satyadi

 

8 responses »

  1. Halo Jakfar,

    Thanks untuk comment-nya.
    Penduduk yang masih stateless ini bisa ditemukan di daerah Tangerang (Tegal Alur). Ini yang paling dekat dengan Jakarta.
    Jumlah terbanyak di Kalimantan Barat.

    Tapi saat ini sudah banyak kemajuan, menyusul UU Kewarganegaraan yang baru, banyak organisasi/pribadi yang membantu penduduk stateless memperoleh hak kewarganegaraannya.

    Trims,
    Lisa

  2. Dear Lisa:

    Boleh kami minta beberapa foto untuk ditayangkan di gereja kami? Kebetulan saat ini ada kegiatan amal untuk menyambut natal.

    Terima kasih,
    SLT

  3. Mbak mau nanya, apa bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih terjadi hingga saat ini? saya beberapa kali melintas di kawasan Cina Benteng ini, dan memang kondisi mereka cukup memprihatinkan, sangat jauh dari anggapan bahwa masyarakat etnis Tionghoa itu pasti kaya.

  4. manfaat status kewarganegaraan bagi kehidupan sehari – hari apa an ya ???
    blz kilat ya ….
    penting bgt niii
    thanks before….. 🙂

  5. pemerintah daerah telah punya program raskin, PKH dan bantuan kesehatan untuk keluarga miskin. apa cina benteng tidak dapat ? kalau tidak dapat kenapa?
    untuk KTP dan surat kewarganegaraan mungkin sudah selesai ya. buktinya pak jusuf kallla beberapa waktu yg lalu ke daerah ini dan sdh banyak yg bisa ikut pemilu. itu artinya sdh banyak bantuan untuk masalah kewarganegaraan?

Leave a comment