Claudine Salmon dalam Bingkai Sastra Melayu Tionghoa

Standard

claudine-salmon.jpg

“Apa angkau perna banyak bergaulan dengen pranakan?”

“Ho. Ho, trima kasi, tida!”

“Kalu tidak perna bergaulan, cara bagimana angkau brani unjuk kajelekannya? Angkau toch tida tau jeleknya bagimana dan apakah di antara kajelekan-kajelekan itu tida ada kebaikan yang menyelip barang sedikit?…Kalu saya musti cela betul-betul kita punya kaum Hok Kian…angkau sendiri ada singke juga seperti saya, tetapi saya heran kenapa angkau bicara Melayu sama angkau punya anak?”

Sepenggal paragraf dengan gaya bahasa ‘aneh’ diatas diambil dari kisah berjudul Dengen Duwa Cent Jadi Kaya 1 karya Thio Tjin Boen yang ditulis pada 1920. Tulisan ini termasuk salah satu karya sastra Melayu-Tionghoa yang tumbuh subur di tahun 1870-1960.

Karena pengaruh kebijakan politik, Sastra Melayu Tionghoa tidak diperhitungkan dalam khazanah Sastra Indonesia. Antara lain alasannya adalah dalih bahwa karya sastra ini menggunakan Bahasa Melayu pasar yang dianggap rendah, sementara karya sastra Balai Pustaka menggunakan Bahasa Melayu tinggi yang dianggap sebagai bagian kebudayaan bangsa.

Argumentasi di atas terbantah ketika Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, a Provisial Annotated Biblio­graphy (Paris:1981), terbit. Katalog karya sastra peranakan yang ditulis oleh Claudine Salmon ini memuat 806 penulis dengan 3005 karya yang terdiri dari drama asli, syair asli, terjemahan karya penulis Barat, terjemahan cerita-cerita Tiongkok, novel dan cerita pendek asli. Sebanyak 2757 karya bisa diidentifikasi pengarangnya, sementara 248 lainnya anonim.

Jumlah ini bisa dibilang fantastis, karena jumlah pengarang Indonesia yang tercatat dalam buku Modern Indonesian Lite­rature (1967, revisi 1979) hanya sebanyak 284 nama dengan 770 karya. Literatur ini adalah karya Profesor A. Teeuw, seorang ahli Sastra Indonesia dari Universitas Leiden yang amat membawa pengaruh besar dalam penulisan sejarah Sastra Indonesia.

Claudine memang bukan orang pertama yang menulis tentang kesastraan Melayu-Tionghoa. Sebelumnya ada Nio Joe Lan yang di tahun 1930 pernah menganjurkan agar karya Sastra Melayu-Tionghoa dikaji dari bidang sejarah, kesusastraan dan psikologi. Ia menyebutnya Kesastraan Indo-Tionghoa.

Setelah Indonesia merdeka, Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu-Tionghoa sebagai masa asimilasi, yaitu masa transisi dari kesastraan lama ke kesastraan baru. Di tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya Pendahulu Kesastraan Indonesia Modern, dan pada 1977, John B. Kwee dalam disertasinya, menyebut Kesastraan Melayu Tionghoa. Namun demikian melalui karya Claudine-lah, mampu dibuktikan secara ilmiah, bah­wa genre kesastraan ini se­betulnya adalah bagian tak terpisah dalam sastra Indonesia.

Profesor A Teeuw bahkan menyatakan, bahwa buku Claudine telah memberi landasan kuat bagi kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra Indonesia modern. “Alasan yang diajukan Salmon itu tak terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap apriori bahwa Sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut, tak diragukan lagi bahwa Sastra Peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok dari perkembangan Sastra Indonesia masa kini…”

Dalam penelitian Claudine, ditemukan bahwa Oey Se karya Thio Tjin Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang adalah dua prosa asli pertama Kesastraan Melayu-Tionghoa yang terbit di tahun 1903. Ini berarti karya-karya itu telah muncul 20 tahun lebih awal dibandingkan karya Sastra Balai Pustaka yang antara lain ditandai dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara: Kisah kehidupan Anak Gadis karya Merari Siregar pada 1920 dan Sitti Nurbaja karya Marah Rusli pada tahun 1922.

Dalam literature Claudine tersebut juga diperlihatkan bahwa pers Melayu-Tionghoa dan para penulis peranakan Tionghoa memainkan peranan besar dalam menyebarluaskan Bahasa Melayu sebagai lingua franca di Indonesia sejak tahun 1890-an. Nyata bahwa Bahasa Melayu yang digunakan pe­ngarang peranakan tidak ada bedanya dengan Bahasa Melayu kaum nasionalis Indonesia awal abad XX. Bahasa inilah yang menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia.

Kemunculan Literature in Malay by the Chinese of Indonesia di tahun 1981 juga membangkitkan kesadaran, bahwa golongan Tionghoa bukanlah binatang ekonomi seperti citra yang disuguhkan kepada publik di masa itu. Penelitian ini mendorong terbukanya genre sastra Melayu-Tionghoa ke hadapan publik nasional di masa akhir kekuasaan Orde Baru, yang sempat membatasi gerak golongan Tionghoa untuk hanya berkarya di bidang ekonomi.

Alasan-alasan diatas telah membuat lima dewan juri yang dipimpin Dr. Syafi’I Maarif untuk menganugerahkan Nabil Award I kepada Claudine Salmon. Penghargaan Nabil diberikan kepada mereka yang dinilai berjasa dalam proses nation-building Indonesia.

Istri dari Alm. Denys Lombart ini lahir di Perancis Timur 69 tahun lalu. Minatnya terhadap kebudayaan Tiongkok telah membawa hidupnya untuk mempelajari studi Bahasa ­Ti­onghoa. Perkenalannya dengan Indonesia dimulai tahun 1966 ketika suaminya ditempatkan sebagai perwakilan Ecole Francais d’Extreme Orient, lembaga penelitian nasional Perancis mengenai Timur Jauh (Asia). Wanita yang fasih berbahasa Indonesia, Perancis, Inggris dan Mandarin ini menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat Indonesia Tionghoa mengalami berbagai macam pembatasan terhadap ekspresi budaya pasca Gerakan 30 September. Kehidupan singkat di Jakarta telah mengubah minat kajiannya dari Tiongkok ke wilayah Lautan Selatan (Asia Tenggara).

Sepanjang hidupnya, Claudine telah menulis paling tidak 300 karya akademis berupa buku, artikel, jurnal dan resensi. Secara garis besar karyanya mengenai etnis Indonesia Ti­onghoa bisa dibagi dalam kelompok Sastra, Bahasa dan Percetakan Melayu Tionghoa; Agama dan Kepercayaan Ti­onghoa; Prasasti Tionghoa sebagai Sumber Sejarah; ­Hubu­ngan Ti­onghoa-Islam; Sejarah Keluarga dan Biografi Tokoh Tionghoa; Sejarah Perempuan Tionghoa; Sejarah Komunitas Tionghoa Berdasarkan Dialek dan Domisili; Pendidikan Tionghoa; dan Hubungan Nusantara dengan Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Tulisan-tulisannya menunjukkan pemupukan silang budaya Tionghoa-Indonesia, dimana etnis Tionghoa telah berada di Indonesia sejak masa paling awal dan memainkan peran penting dalam perkembangan ekonomi, politik dan sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia.**

Mengintip Sejarah dari Karya Sastra Melayu Tionghoa

Cukup mengasyikkan membaca karya sastra para peranakan Tionghoa di masa 1870-1960. Karya Sastra Melayu Tionghoa menggambarkan dinamika yang terjadi semasa puncak Pax Nederlandica (masa keemasan penjajahan Belanda) dan beberapa dekade awal kemerdekaan Indonesia. Dari sana kita bisa merasakan bagaimana hidup di zaman itu dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi di masyarakat pada masa kisah tersebut ditulis.

Ada kisah tentang kedatangan Raja Siam di Betawi pada 1870, pembuatan jalan kereta api pertama dari Batavia ke Karawang di awal abad 19, biografi seorang petinju masyur, kisah percintaan yang ditentang karena perbedaan, drama berlatar belakang meletusnya gunung Krakatau sampai kisah keseharian masyarakat pada krisis ekonomi tahun 1930-an. Kita juga bisa melihat bahwa buku tentang belajar bahasa Melayu yang berisi ejaan, penggalan kata sampai peribahasa ternyata sudah terbit di tahun 1884.

Ada pula Novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang berani menyentuh masalah hakiki dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an dan secara terbuka mengaspirasikan semangat ke-Indonesiaan. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah Pemberontakan November 1926 yang tidak berani disentuh para pengarang Balai Pustaka.

Hubungan interaksi sosial dalam masyarakat juga terbaca jelas. Seperti karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya. Ia bahkan menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke’ dengan golongan peranakan, karena adanya sifat, kebiasaan dan pola pikir yang berbeda.

Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan melawan kung­kungan tradisi untuk meraih cita-citanya.

Kisah-kisah dalam Karya Sastra Melayu-Tionghoa menggambarkan pergulatan mencari identitas dan pengakuan yang dialami etnis Tionghoa di Indonesia. Tampak pula keragaman dalam masyarakat Tionghoa yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia. Sebuah fakta lagi yang menguak betapa heterogennya masyarakat Tionghoa di Indonesia, dimana sering disamaratakan dengan stereotIpe tertentu.


Sekilas tentang Claudine Salmon

Tempat dan tahun lahir: Bruyeres, Prancis Timur, 1938

Keluarga: Denys Lombart (suami, 1938-1998)

Pendidikan: Studi Bahasa Tionghoa di Ecole Nationales des Langues Orientales (1962); studi hukum (1963) dan studi humaniora (1964) di Faculte de Droit, Universitas Sorbonne; dan meraih gelar doktor dari Universitas Sorbonne (1970).

Pekerjaan: Ahli peneliti utama di Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah (CNRS)

Karya ilmiah: selama 1965-2007 (termasuk yang akan terbit) Claudine Salmon telah menghasilkan tiga buku (termasuk terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia), lima buku bersama penulis lain (termasuk terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan Thailand), menjadi editor 9 buku dimana biasanya ia memberikan anotasi detail atas subjeknya yang juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin dan Vietnam, 53 artikel dalam buku (termasuk terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, Malaysia dan Italia), 103 artikel dan terjemahan dalam jurnal (termasuk terjemahannya ke dalam Bahasa China, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Spanyol) serta 128 buku yang diresensi dalam berbagai macam bahasa.

(Lisa Suroso/SUARA BARU) Photo: Eric Satyadi

3 responses »

  1. Pingback: Pembuatan Jalan

Leave a reply to Edi Kurniawan Cancel reply