Hutan Hilang Bencana Datang

Standard

 

hutan-kalimantan1.jpgPerhatian dunia sedang terarah ke Indonesia. Selain menjadi tuan rumah Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang ­Perubahan Iklim pada Desember 2007 ini, Indonesia meraih rekor baru: penyumbang nomor satu emisi karbon dioksida dari sektor kehutanan.

 

Hutan memegang peranan sangat penting dalam siklus karbon dunia, dimana karbon tersimpan dalam jumlah besar dan proses fotosintesa serta respirasi, memperlancar pertukaran karbon dengan atmosfer. Tapi ketika hutan dirusak oleh manusia dengan pembalakan liar, kebakaran, konversi tata guna lahan dan prosedur panen yang salah, hutan menjadi sumber penyumbang emisi karbon.

Jumlah total area hutan Indonesia adalah 187,9 juta hektar. Jumlah ini menyusut menjadi 144 juta hektar pada akhir 1960, dan menyusut lagi menjadi 120,55 juta hektar di tahun 2005. Ironisnya, dari luas terakhir, 53,9 juta hektar dalam keadaan rusak dan kritis. Angka resmi Depertemen Kehutanan mencatat laju kerusakan hutan 2,8 juta hektar per tahun, dengan laju penurunan tertinggi terjadi di Sumatera, diikuti oleh Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Gambaran sederhananya, dalam sehari, 51 km persegi hutan dihancurkan. Lagi-lagi, ini rekor tercepat dalam hal penghancuran hutan.

karbon-negara.jpgHilangnya hutan berkaitan erat dengan runtutan bencana yang terjadi. Kekeringan mata air, kabut asap, banjir dan longsor telah menyengsarakan masyarakat disertai dengan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Dari pembalakan liar saja negara dirugikan Rp. 30 triliun dengan total kayu curian 70 juta meter kubik per tahun.

Pembalakan liar di hutan Indonesia memang sulit dikendalikan. Hal ini terkait dengan keterlibatan oknum instansi terkait seperti Departemen dan Dinas Kehutanan, Kepolisian, TNI, hakim dan jaksa. Pelaku yang dijerat masih pada level operator, sementara cukong-cukong besar bebas melenggang. Undang-undang dan Surat Keputusan yang mengatur Pengelolaan Hutan dan Tata Niaga Kayu belum sepenuhnya dapat menjerat pelaku di balik layar, terutama pemodal. Yang dijerat kebanyakan pelaku kelas teri seperti nahkoda kapal, supir truk atau penebang. Hukumannya pun ringan bahkan banyak yang divonis bebas. Berdasarkan data tahun 2005, kasus pene­bangan liar di hutan konservasi berjumlah 276 kasus, namun hanya 15 kasus yang divonis. Keterlibatan oknum aparat dalam kegiatan kayu ilegal juga merambah sektor bisnis. Data dari Telapak Indonesia, 80% perusahaan kayu di Surabaya menampung kayu ilegal. Kabarnya, diantara perusahaan itu banyak yang dimodali Primkopad dan Primkopal.

Selain itu, pencurian kayu telah menjadi bagian dari jaringan sindikat internasional yang rapi dan solid. Vietnam, Malaysia, China, Hongkong dan Uni Eropa cenderung melegalkan perdagangan kayu ilegal dari hutan tropis. Sebagai contoh, di tahun 1999, Uni Eropa mengimpor 10 juta meter kubik kayu, dimana nyaris setengahnya berasal dari tiga negara – Indonesia, Brazil, dan Kamerun – yang disinyalir liar, senilai US$ 1,5 miliar per tahun. (Timber Traficking, TELAPAK/EIA, 2001).

Dari negara anggota Uni Eropa, Inggris merupakan pengimpor kayu liar terbesar ( 1,6 juta meter di tahun 1999 ), 60 persen kayu yang diimpor ke Inggris merupakan kayu liar senilai US$ 200 juta. Pengimpor terbesar berikutnya adalah Perancis, Belgia, Jerman, dan Belanda.

hutan-titik-api.jpgKonsumsi kayu Uni Eropa yang tak mengindahkan asal-usul kayu membuat mereka secara langsung ikut bertanggung jawab atas kerusakan hutan di negara-negara tropis. Sampai saat ini belum ada payung hukum yang melarang negara anggota Uni Eropa untuk mengkonsumsi kayu ilegal yang jauh lebih murah dari harga pasar internasional. Konsumsi kayu tropis Uni Eropa setara dengan penebangan hutan seluas 700 ribu hektar setiap tahunnya.(Lisa Suroso/SUARA BARU)

Leave a comment